Senin, 07 Oktober 2013

INDONESIA dan INVESTASI EKONOMI HIJAU


INDONESIA dan INVESTASI EKONOMI HIJAU
By EMBUN1
          Indonesia secara fakta dan data)* oleh kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, adalah satu dari sedikit negara yang memiliki  potensi sangat besar  sebagai penghasil bahan mentah terbesar di dunia. Selain itu menjadi negara tujuan investasi dan sekaligus salah satu pasar produk barang  jadi terbesar dunia.
Angka-angka ukuran keunggulan sedunia kekayaan bumi khatulistiwa dapat di lihat sebagai berikut ;
-          Urutan 1 produsen CPO dunia
-          Peringkat 2 pengekspor Batubara dunia
-          Peringkat 2  Produksi Timah dunia
-          Peringkat 3 Produksi Tembaga dunia
-          Urutan 5  penghasil nikel dunia
-          Peringkat 7  penghasil Emas dunia
-          1 dari 10 Negara Penghasil Gas Alam dunia
-          1 dari 20 Negara penghasil Minyak Mentah dunia
-          Urutan 6 penghasil biji-bijian terbesar dunia
-          Urutan 6 penghasil Teh dunia
-          Peringkat 4 penghasil kopi dunia
-          Urutan 3 penghasil Coklat dunia
-          Nomor 1 penghasil Lada Putih dunia
-          Nomor 2 penghasil Lada Hitan dunia
-          Nomor 1 penghasil biji & fuli buah Pala dan Cengkeh dunia
-          Nomor 2 dunia penghasil Karet alam
-          Produsen Kayu Lapis nomor 1 dunia
-          Ikan (?) sekalipun Indonesia memiliki laut luas dengan garis pantai terpanjang di dunia, hanya berada di urutan 6 pengahasil Ikan dunia
          Potensi kekayaan yang secara ekonomi memungkinkan kebutuhan hidup rakyat dapat terpenuhi secara baik untuk mencapai tingkat makmur dan sejahtera.
Sebagai penghasil bahan mentah terbesar di dunia, ternyata kita tidak melakukan peningkatan kualitas atau nilai tambah terhadap produk-produk tersebut, bisanya menjualnya secara gelondongan atau menyerahkannya kepada pihak asing dalam pengelolaannya. Kita berbangga dengan status sebagai penghasil bahan mentah dunia tapi harus kecewa dengan predikat yang disandang sebagai negara pasar terbesar dunia. Kekayaan ekonomi Indonesia belum disebut negara industri, malah cenderung mengarah kepada negara de-industrialisasi.
Nilai keekonomian hasil produksi suatu Negara dapat di ukur dengan seberapa besar nilai tambah yang dilakukan terhadap sebuah produk sebelum dijual atau di ekspor. Minyak mentah di ekspor, setelah diolah di luar negeri kembali dibeli untuk diimpor ke dalam negeri. Biji kakao diekspor gelondongan, lalu diimpor hasil olahannya untuk dijadikan produk coklat.

          Indonesia terkendali melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), maupun Kesepakatandan perjanjian sistem perdagangan bebas dunia seperti Free Trade Agreement (FTA) atau antar negara, contohnya kesepakatan perdagangan bebas Indonesia-China (ACFTA), Intra ASEAN, dan lain Negara.
Hal ini memungkinkan terbukanya pasar ekonomi dalam negeri seluas-luasnya bagi produk jadi dari negara-negara mitra perjanjian perdagangan bebas yang unggul industri pengolahan bahan baku menjadi barang setengah jadi dan barang jadi untuk mengekspor ke Indonesia dengan tanpa hambatan.

          Masuknya investasi asing, hanya lebih besar pada pasar uang “panas” seperti pasar modal, surat utang negara atau juga pasar valas. Terbatas dan tidak tentu waktu lama investasi asing bertahan di dalam negeri, kapanpun bisa angkat kaki dari Indonesia. Investasi mestinya lebih diarahkan kepada pembangunan industri pengelolaan bahan baku menjadi barang setengah jadi dan barang jadi. Sehingga menimbulkan efek berantai positif bagi Negara dan masyarakat. Bila sistim ekonomi dibangun mulai dari produksi bahan baku, diolah dan di jadikan bahan siap pakai, maka bagi Negara akan mendapatkan nilai kemajuan ekonomi industri yang lebih berkualitas, pendapatan dari berbagai jenis pajak, penguasaan teknologi dan pengetahuan, tersedia lapangan kerja yang lebih luas dan banyak. Dengan begitu negara dapat dianggap telah mampu memerankan fungsinya sebagai pelindung ekonomi rakyat.
Tidak sebaliknya industri yang telah ada menjadi makin pudar masa depannya apalagi bisa hancur, sebagaimana beberapa industri yang telah ada seperti industri pupuk, industri gula, industri besi baja,  industri tekstil, juga industri pertanian.

          Kekayaan sumber daya alam bumi Indonesia juga besarnya jumlah penduduk sebagai pasar konsumen dan adanya upah buruh yang murah, menjadi daya tarik bagi investor asing untuk menanamkan investasinya di Indonesia, selain pada pasar financial yang instan dan tak tentu waktu masa bertahannya. Indonesia akan terus menjadi incaran para pemilik modal besar dan negara dunia yang minim sumber daya alamnya. Sayangnya peningkatan investasi asing menjadi “bom waktu” oleh adanya aturan dalam perjanjian yang sangat memanjakan dan mengistimewakan investor. Hal yang menjadi semacam ”buah simalakama”, bagi pemerintah kala berhadapan dengan kepentingan rakyat yang mempertanyakan penguasaan total oleh investor asing dan perlakuan manis yang begitu berlebihan. Bahkan bila dihadapkan pada kebutuhan investasi yang ramah lingkungan atau pembangunan  ekonomi berkelanjutan, akan menjadi perdebatan berkepanjangan antara kebutuhan pertumbuhan ekonomi yang disokong investasi asing dan tuntutan perlindungan dan kelestarian lingkungan. Pemerintah menjadi seperti membisu dan menutup kuping bila berhadapan dengan tuntutan pemerhati lingkungan yang meneriakan tuntutan ekonomi hijau. Pemerintah mendengar teriakan, tapi mengunci hati nuraninya dan memeras otak untuk menampilkan alasan-alasan pembenaran yang membalikkan akal sehat.

          Beberapa contoh yang mengindikasikan kontrol penuh dan penguasaan investor asing terhadap kekayaan sumber daya alam dapat ditelusur di bidang pertambangan dan energi. Di pertambangan minyak dan gas dikuasai 85 persen, 100 persen  pertambangan mineral seperti  di Tembagapura –Timika Papua, pertambangan Emas di Minahasa Sulawesi Utara, 65 -70 persen di perkebunan, sektor perikanan samudera yang lemah kontrol jumlah armada dan hasil tangkapan, begitupun 65 persen pengasaan keunganan perbankan nasional.
          Berbagai regulasi berupa undang-undang dan turunannya menjadi tidak berarti untuk dinegosiasikan dengan para raja kapital, sebab mungkin riskan bagi pemerintah. Padahal semestinya pemerintah dapat beralasan mengatasnamakan kepentingan rakyat dan bersandar pada berbagai konvensi yang merupakan kesepakatan dan aturan  dunia tentang pembangunan berkelanjutan yang telah di ratifikasi Indonesia dan telah menjadi undang-undang, yang sejatinya lebih mementingkan pembangunan berbasis perlindungan lingkungan dan ekosistem alam dunia, apalagi khususnya negara Indonesia adalah wilayah bumi terpenting yang menjadi bagian dari paru-paru dunia. 
          Laju pertumbuhan industrialisasi berbasis bahan baku seperti perkebunan telah menghancurkan hutan alam dan menghilangkan habitat satwa, industri pertambangan menyisahkan kubangan danau yang memenuhi kedalaman perut bumi, membantai pemukiman dan menghapus kekayaan budaya serta memupus identitas masyarakat  dan menebarkan limbah beracun yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Hilang dan berkurangnya lahan perkebunan dan pertanian rakyat. Sumber air  sungai maupun air tanah yang sehat untuk diminum telah hilang mata air dan daerah alirannya, air tercemar limbah industri dan mengering karena tersedot kuat oleh mesin-mesin industri. Laut kian keruh dan jenis ikan yang kian langka, jauh ke samudera yang sulit terjangkau bagi nelayan tradisional selain matinya biota laut akibat buangan limbah kapal dan ledakan industri pengeboran minyak lepas pantai seperti yang terjadi tahun 2009 di laut Timor.    

          Ironi kemajuan ekonomi yang menyisahkan bencana dan kesengsaraan bagi rakyat kebanyakan yang kemudian bergelut dengan kehidupan “sampah kesejahteraan” dari segelintir orang bermodal besar yang bernaung di bangunan-bangunan mewah penghasil gas rumah kaca, yaitu tentang apa yang harus dimakan hari.

          Kita boleh membuka diri terhadap kehadiran investasi asing dan tekhnologi mutahir, juga menjadi negara pasar bagi produk luar negeri, sebagaimana kita juga membutuhkan pasar negara luar untuk menjual produk kita. Hanya saja untuk produk industri rekayasa berteknologi tinggi dan berbiaya mahal. Keuntungan yang didapat  setidaknya kita bisa meng”copy” tekhnologinya dan mempelajari serta menjadikannya ukuran dan pembanding pencapaian tingkat kemajuan mapun penguasaan tekhnologi dan pengatahuan yang telah dicapai di dalam negeri.
Akan tetapi tidak dengan sengaja membutakan mata dan hati kita terhadap berbagai pengaruh dan dampak negatif yang akan timbul terhadap kenyamanan dan kepentingan nasional. Baik terhadap kepentingan keselamatan nasional, kesejahteraan rakyat secara keseluruhan maupun ketersediaan sumber daya kekayaan bumi nusantara untuk jangka panjang.

          Indonesia, negeri sejuta pesona dengan kekayaan sumber daya  alam terbaik, terbesar dan mudah untuk dikuras tanpa empati oleh para pemburu harta bumi. Negeri impian yang dianggap sunyi oleh para pilot mesin industri berbasis bahan mentah terhadap suara-suara para idialis pemerhati lingkungan. Indonesia tanah airku, sedang berada di persimpangan ruang waktu dan tempat pasar penggerus sumber daya alam dunia.
Quo Vadis Ekonomi Hijau Indonesia.
Depok, 20 September 2013.
)*Olahan dari berbagai sumber

Tidak ada komentar: