INDONESIA
dan
INVESTASI
EKONOMI HIJAU
By
EMBUN1
Indonesia secara fakta dan data)*
oleh kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, adalah satu dari sedikit negara
yang memiliki potensi sangat besar sebagai penghasil bahan mentah terbesar di
dunia. Selain itu menjadi negara tujuan investasi dan sekaligus salah satu
pasar produk barang jadi terbesar dunia.
Angka-angka
ukuran keunggulan sedunia kekayaan bumi khatulistiwa dapat di lihat sebagai
berikut ;
-
Urutan 1 produsen CPO dunia
-
Peringkat 2 pengekspor Batubara dunia
-
Peringkat 2 Produksi Timah dunia
-
Peringkat 3 Produksi Tembaga dunia
-
Urutan 5 penghasil nikel dunia
-
Peringkat 7 penghasil Emas dunia
-
1 dari 10 Negara Penghasil Gas Alam dunia
-
1 dari 20 Negara penghasil Minyak Mentah dunia
-
Urutan 6 penghasil biji-bijian terbesar dunia
-
Urutan 6 penghasil Teh dunia
-
Peringkat 4 penghasil kopi dunia
-
Urutan 3 penghasil Coklat dunia
-
Nomor 1 penghasil Lada Putih dunia
-
Nomor 2 penghasil Lada Hitan dunia
-
Nomor 1 penghasil biji & fuli buah Pala dan
Cengkeh dunia
-
Nomor 2 dunia penghasil Karet alam
-
Produsen Kayu Lapis nomor 1 dunia
-
Ikan (?) sekalipun Indonesia memiliki laut luas
dengan garis pantai terpanjang di dunia, hanya berada di urutan 6 pengahasil
Ikan dunia
Potensi kekayaan yang
secara ekonomi memungkinkan kebutuhan hidup rakyat dapat terpenuhi secara baik untuk
mencapai tingkat makmur dan sejahtera.
Sebagai penghasil bahan mentah terbesar di dunia, ternyata kita tidak
melakukan peningkatan kualitas atau nilai tambah terhadap produk-produk
tersebut, bisanya menjualnya secara gelondongan atau menyerahkannya kepada
pihak asing dalam pengelolaannya. Kita berbangga dengan status sebagai
penghasil bahan mentah dunia tapi harus kecewa dengan predikat yang disandang
sebagai negara pasar terbesar dunia. Kekayaan ekonomi Indonesia belum disebut negara
industri, malah cenderung mengarah kepada negara de-industrialisasi.
Nilai keekonomian hasil produksi suatu Negara dapat di ukur dengan
seberapa besar nilai tambah yang dilakukan terhadap sebuah produk sebelum dijual
atau di ekspor. Minyak mentah di ekspor, setelah diolah di luar negeri kembali
dibeli untuk diimpor ke dalam negeri. Biji kakao diekspor gelondongan, lalu
diimpor hasil olahannya untuk dijadikan produk coklat.
Indonesia
terkendali melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), maupun Kesepakatandan
perjanjian sistem perdagangan bebas dunia seperti Free Trade Agreement (FTA)
atau antar negara, contohnya kesepakatan perdagangan bebas Indonesia-China
(ACFTA), Intra ASEAN, dan lain Negara.
Hal ini memungkinkan terbukanya pasar ekonomi dalam negeri
seluas-luasnya bagi produk jadi dari negara-negara mitra perjanjian perdagangan
bebas yang unggul industri pengolahan bahan baku menjadi barang setengah jadi
dan barang jadi untuk mengekspor ke Indonesia dengan tanpa hambatan.
Masuknya investasi
asing, hanya lebih besar pada pasar uang “panas” seperti pasar modal, surat
utang negara atau juga pasar valas. Terbatas dan tidak tentu waktu lama investasi
asing bertahan di dalam negeri, kapanpun bisa angkat kaki dari Indonesia.
Investasi mestinya lebih diarahkan kepada pembangunan industri pengelolaan
bahan baku menjadi barang setengah jadi dan barang jadi. Sehingga menimbulkan
efek berantai positif bagi Negara dan masyarakat. Bila sistim ekonomi dibangun
mulai dari produksi bahan baku, diolah dan di jadikan bahan siap pakai, maka bagi
Negara akan mendapatkan nilai kemajuan ekonomi industri yang lebih berkualitas,
pendapatan dari berbagai jenis pajak, penguasaan teknologi dan pengetahuan,
tersedia lapangan kerja yang lebih luas dan banyak. Dengan begitu negara dapat
dianggap telah mampu memerankan fungsinya sebagai pelindung ekonomi rakyat.
Tidak sebaliknya
industri yang telah ada menjadi makin pudar masa depannya apalagi bisa hancur,
sebagaimana beberapa industri yang telah ada seperti industri pupuk, industri gula,
industri besi baja, industri tekstil,
juga industri pertanian.
Kekayaan sumber
daya alam bumi Indonesia juga besarnya jumlah penduduk sebagai pasar konsumen
dan adanya upah buruh yang murah, menjadi daya tarik bagi investor asing untuk
menanamkan investasinya di Indonesia, selain pada pasar financial yang instan
dan tak tentu waktu masa bertahannya. Indonesia akan terus menjadi incaran para
pemilik modal besar dan negara dunia yang minim sumber daya alamnya. Sayangnya
peningkatan investasi asing menjadi “bom waktu” oleh adanya aturan dalam
perjanjian yang sangat memanjakan dan mengistimewakan investor. Hal yang
menjadi semacam ”buah simalakama”, bagi pemerintah kala berhadapan dengan
kepentingan rakyat yang mempertanyakan penguasaan total oleh investor asing dan
perlakuan manis yang begitu berlebihan. Bahkan bila dihadapkan pada kebutuhan investasi
yang ramah lingkungan atau pembangunan ekonomi berkelanjutan, akan menjadi perdebatan
berkepanjangan antara kebutuhan pertumbuhan ekonomi yang disokong investasi
asing dan tuntutan perlindungan dan kelestarian lingkungan. Pemerintah menjadi
seperti membisu dan menutup kuping bila berhadapan dengan tuntutan pemerhati
lingkungan yang meneriakan tuntutan ekonomi hijau. Pemerintah mendengar
teriakan, tapi mengunci hati nuraninya dan memeras otak untuk menampilkan
alasan-alasan pembenaran yang membalikkan akal sehat.
Beberapa contoh yang
mengindikasikan kontrol penuh dan penguasaan investor asing terhadap kekayaan
sumber daya alam dapat ditelusur di bidang pertambangan dan energi. Di
pertambangan minyak dan gas dikuasai 85 persen, 100 persen pertambangan mineral seperti di Tembagapura –Timika Papua, pertambangan
Emas di Minahasa Sulawesi Utara, 65 -70 persen di perkebunan, sektor perikanan
samudera yang lemah kontrol jumlah armada dan hasil tangkapan, begitupun 65
persen pengasaan keunganan perbankan nasional.
Berbagai regulasi berupa
undang-undang dan turunannya menjadi tidak berarti untuk dinegosiasikan dengan
para raja kapital, sebab mungkin riskan bagi pemerintah. Padahal semestinya
pemerintah dapat beralasan mengatasnamakan kepentingan rakyat dan bersandar
pada berbagai konvensi yang merupakan kesepakatan dan aturan dunia tentang pembangunan berkelanjutan yang
telah di ratifikasi Indonesia dan telah menjadi undang-undang, yang sejatinya lebih
mementingkan pembangunan berbasis perlindungan lingkungan dan ekosistem alam
dunia, apalagi khususnya negara Indonesia adalah wilayah bumi terpenting yang
menjadi bagian dari paru-paru dunia.
Laju pertumbuhan
industrialisasi berbasis bahan baku seperti perkebunan telah menghancurkan
hutan alam dan menghilangkan habitat satwa, industri pertambangan menyisahkan
kubangan danau yang memenuhi kedalaman perut bumi, membantai pemukiman dan
menghapus kekayaan budaya serta memupus identitas masyarakat dan menebarkan limbah beracun yang berbahaya
bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
Hilang dan berkurangnya lahan perkebunan dan pertanian rakyat. Sumber
air sungai maupun air tanah yang sehat
untuk diminum telah hilang mata air dan daerah alirannya, air tercemar limbah
industri dan mengering karena tersedot kuat oleh mesin-mesin industri. Laut
kian keruh dan jenis ikan yang kian langka, jauh ke samudera yang sulit
terjangkau bagi nelayan tradisional selain matinya biota laut akibat buangan
limbah kapal dan ledakan industri pengeboran minyak lepas pantai seperti yang
terjadi tahun 2009 di laut Timor.
Ironi kemajuan
ekonomi yang menyisahkan bencana dan kesengsaraan bagi rakyat kebanyakan yang kemudian
bergelut dengan kehidupan “sampah kesejahteraan” dari segelintir orang bermodal
besar yang bernaung di bangunan-bangunan mewah penghasil gas rumah kaca, yaitu
tentang apa yang harus dimakan hari.
Kita boleh membuka
diri terhadap kehadiran investasi asing dan tekhnologi mutahir, juga menjadi
negara pasar bagi produk luar negeri, sebagaimana kita juga membutuhkan pasar
negara luar untuk menjual produk kita. Hanya saja untuk produk industri
rekayasa berteknologi tinggi dan berbiaya mahal. Keuntungan yang didapat setidaknya kita bisa meng”copy” tekhnologinya
dan mempelajari serta menjadikannya ukuran dan pembanding pencapaian tingkat
kemajuan mapun penguasaan tekhnologi dan pengatahuan yang telah dicapai di
dalam negeri.
Akan tetapi tidak dengan sengaja membutakan mata dan hati kita
terhadap berbagai pengaruh dan dampak negatif yang akan timbul terhadap
kenyamanan dan kepentingan nasional. Baik terhadap kepentingan keselamatan nasional,
kesejahteraan rakyat secara keseluruhan maupun ketersediaan sumber daya
kekayaan bumi nusantara untuk jangka panjang.
Indonesia, negeri
sejuta pesona dengan kekayaan sumber daya alam terbaik, terbesar dan mudah untuk dikuras
tanpa empati oleh para pemburu harta bumi. Negeri impian yang dianggap sunyi
oleh para pilot mesin industri berbasis bahan mentah terhadap suara-suara para
idialis pemerhati lingkungan. Indonesia tanah airku, sedang berada di
persimpangan ruang waktu dan tempat pasar penggerus sumber daya alam dunia.
Quo Vadis Ekonomi Hijau
Indonesia.
Depok, 20 September 2013.
)*Olahan dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar