Minggu, 21 Juli 2013

Kantong Sampah (Sketsa) Penawar Jasa Tilang


Sketsa Kantong Sampah” ;

PENAWAR JASA  TILANG DI BAWAH POHON CANGKOKAN
by EMBUN1

Hari Jumat 26 Juli 2013 jam menunjukan pukul sebelas siang, itu berarti setengah jam lagi sudah memasuki waktu shalat jumat untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Bekendara motor sedikit ngebut menuju kantor Pengadilan Negeri yang terletak di timur  Jakarta untuk mengikuti sidang pengadilan karena perkara pelanggaran lalulintas. Pelanggaran bukan olehku tetapi anakku. Diakhir bulan juni lalu dia memakai motor untuk urusan mendaftar ke Perguruan Tinggi, tapi karena tidak memiliki SIM sehingga di tilang saat ada razia lalulintas oleh Kepolisian di daerah Cililitan Jakarta Timur. STNK motor ditahan dan Surat Tilang diberikan oleh polisi. Pada surat tilang yang berwarna merah, tertulis hari ini jum’at tanggal 26 Juli 2013 sidang perkara pelanggaran lalulintas di Pengadilan Negeri.  

Aku telah mendekati gedung pengadilan yang kelihatannya mungkin baru selesai dibangun. Dua tiga ratusan meter dari gedung itu saya dihentikan oleh beberapa orang yang kelihatannya sudah sangat mahir membaca maksud orang yang berlalu-lalang di daerah itu.

“ Pa’..pa’….” aku menengok kearah tiga orang yang memanggil,  menepi lalu berhenti.
“ ya…ada apa ” tanya saya
“ Bapak mau urus surat tilang ke pengadilan ?” kata anak muda yang badannya tinggi krempeng, berambut sedikit gondrong berkaos lusuh bercelana jeans butut.
“Maksudnya bagaimana” aku balik tanya
“ Surat Tilang mana pa’… coba saya lihat, kita bawa dulu bayarnya nanti saja” lanjut si gondrong.
“ Ok, nanti saja ya….. mau jum’atan dulu” kusanggah sambil melaju meninggalkan mereka mencari masjid.

Ba’dah jum’at aku kembali menuju gedung pengadilan. Di sepanjang tepi jalan sekitar depan gedung pengadilan berderet puluhan orang berdiri,kadang berlari menuju pengendara motor atau mobil yang berhenti atau agak berteriak kepada yang lewat. Begitupun kehadiranku mengundang mereka mendekat dan  menyambutku sambil “ menawarkan jasa” sebagai pengurus perkara pelanggaran lalulintas. Aku ditanya apa pelanggarannya serta menjelaskan kemudahan untuk pengurusan perkara tilang tersebut.

“ Ke sini pa’ parkir motornya di sini saja” kata tukang parkir - sepertinya tukang parkir liar,  berbaju stelan safari hitam yang juga merangkap jabatan sebagai pengurus jasa perkara tilang dengan senyum penuh keramahan. Motor kuparkir di torotoar jalan samping saluran got yang sangat dalam tapi airnya hitam pekat tergenang dan penuh sampah.

“ Mana surat tilangnya pa’, kita lihat apa pelanggarannya” kata dua orang yang lain hapir bersamaan.                 “Maksudnya bagaimana bang ?....” berlaga jadi orang bego, seakan belum paham cara pintas para “calo” penawar jasa ini.
“Bapak tidak perlu ikut sidang…. STNK-nya bisa kami ambil, Bapak tinggal bayar sebesar ketentuan denda pelanggaran seperti yang tercantum…” jelas anak muda yang dilengan kanannya ada gambar tato sambil menengok kearah jalan mengamati  sebuah mobil pickup yang hendak berhenti dekat kami berdiri.
“Apakah pembayaran dendanya disetor masuk kas Negara ?....”  tanyaku memastikan uang denda seratus ribu rupiahku sesuai ketentuan yang tertulis pada surat tilang, apa benar disetorkan ke  kas negara.
“Ia pa’, biaya denda bapak nanti disetor ke kas Negara, …. tapi nanti saja bayarnya, kalu uda diambil STNK-nya…..”  sambut si tukang parkir meyakinkan aku.    
 Surat tilang kukeluarkan dari dalam tas ransel lalu diambil dan diperiksa teman si”tato”. Sementara si”tato” meninggalkan kami mendatangi mobil pickup dan terlibat pembicaraan dengan seorang tua berpeci putih sambil menerima dan memperhatikan selembar kertas yang diterimanya.
‘Oo, ini Bapak cuma membayar denda seratus ribu kalau pelanggaran tidak membawa SIM…. dan untuk saya terserah nanti akan dikasih berapa…., oke…surat tilang saya bawa, bapak tunggu saja di sini” …..  jelas teman si”tato” kepadaku.  Tanpa menunggu jawaban persetujuan dariku  sipemegang surat tilang telah berlalu meninggalkan aku bersama si tukang parkir “liar”.
Dengan tergesa-gesa ia menuju  pintu gerbang halaman kantor pengadilan dan menghilang ke dalam  gedung yang berlantai tiga berhalaman luas yang masih sangat baru itu. Entah siapa yang hendak ditemui di dalam ruang kantor pengadilan, aku terbengong sendiri dalam diam seraya membathin.
Inikah wajah hukum penyelesaian perkara  negeriku ? Ah, aku lelah bila berpikir idialis. Bakalan sama dengan perdebatan mana duluan ; ayam apa telur atau telur apa ayam.  Kuping yang dipakai, kedengaran mana disebut duluan itu jawabannya. Baik buruk kondisi seperti ini seperti di“amini” begitu saja. Intelektual akademis memahami betul mana baik dan mana buruk, akan tetapi untuk hanya menjalankan yang baik dan segera meninggalkan yang buruk masih sebatas hasrat, rencana, program, misi dan istilah sejenisnya. Kenyataan implementasi hanya sebatas angan dan impian.  Dan kita hanya orang bodoh yang pasrah.
Seperti jadi percuma beradu argumentasi membahas untuk mencari ujung pangkal bagaimana semestinya mengatasi persoalan calo perkara, aparat hukum yang mengetuk palu memutus sendiri di balik ruang sidang dan mendapatkan pengadilan yang bersih, jujur dan adil bagi pencari  keadilan  yang berperkara. Belum lagi kerugian dari pendapatan negara bukan pajak yang disunat - via para penawar jasa, seperti kewajiban pembayaran denda sebagai akibat tersangkut masalah hukum seperti pelanggaran lalulintas yang mestinya masuk kas negara yang tentu berguna bagi pembiayaan pembangunan.
Siang menjelang sore, matahari masih memancarkan sinar terik.  Masih banyak para pelanggar peraturan lalu lintas yang datang. Mereka hanya cukup sampai di depan gedung pengadilan sudah langsung disambut puluhan orang para penawar jasa, ada sekitar tiga hingga empat puluhan orang jumlahnya, yang mahir bercakap dan lincah bergerak segera menghampiri siapapun yang datang lalu menawarkan jasanya.
Teman si “tato” yang membawa surat tilangku belum juga terlihat kembali keluar dari dalam gedung pengadilan.
Suasana puasa sedikit melemaskan stamina setelah hampir dua jam tadi di atas berkendara, melaju dari tempat tinggal tinggal menuju kantor pengadilan. Aku beranjak menuju ke bawah pepohonan beringin yang rindang di pinggiran jalan itu.  Mendapatkan ruang duduk bersandar ke tiang  halte bis.
Pepohonan di sepanjang jalan depan gedung pengadilan yang berdekatan dengan kantor Pemda di timur Jakarta ini memang hijau, lebat dan rindang, akan tetapi terbesit kekhawatiranku mungkin bisa saja gampang roboh karena ini pohon penghijauan yang tidak berakar tunggang. Biasanya akar tunggang tidak ada karena berasal dari bibit cangkokan  Berbeda sebagaimana pepohonan yang tumbuh alami, pasti miliki akar tunggang
Angin sejuk meniup sayu melemaskan otot mataku. Akupun tertidur sambil duduk,  mungkin bisa bermimpi disiang bolong.
“ Pa’ bangun, …… bapak ..” Aku kaget dibangunkan si “ tato’ yang sedang berdiri bersama si “penawar jasa” perkara tilang di hadapanku.
Sang penawar jasa segera memperlihatkan dan menyebut nama sebagaimana tercantum pada STNK motor, aku membenarkan nama yang terbaca.
“Ini STNK-nya…, dendanya mana pa’ ? mau saya sampaikan ke dalam”….. (maksudnya mungkin ke dalam kantor pengadilan) sambil menyodorkan STNK padaku.
 Akupun dalam keadaan baru tersadar dari tidur tadi, langsung merogoh kantong dan menyerahkan uang seratus ribu rupiah dan melebihkan limabelas ribu rupiah. Tangan kiriku menerima STNK-ku  yang masih dijepit bersama sepotong kertas bertuliskan angka-angka di atasnya,  mungkin nomor urut perkara. Entah ditulis aparat yang mana. Kejadian perkara berhadapan dengan aparat Kepolisian, persidangan perkara pelanggaran lalulintas di Pengadilan Negeri.
Ketika sudah tersadar benar dari serangan kantuk dan tertidur pulas tadi, aku mencari-cari si penawar jasa yang ternyata telah lenyap dari hadapanku. Pergi bersama seratus ribu rupiah uang denda yang mestinya masuk ke kas Negara, tanpa menjelaskan dan atau menyerahkan bukti pembayaran denda seperti permintaanku sebelumnya yang telah diiakan. Demikian juga seperti apa proses sidang perkara tilang dan keputusan hakim serta berkas bukti putusan pengadilan-pun, tidak kudapatkan.
Hari menjelang sore, sebentar lagi masuk waktu buka puasa. Sudah lebih dari dua jam aku duduk menunggu ditempat berpayung atap halte bis bernaung pohon beringin. Motor kedorong turun dari trotoar dibantu si tukang parkir liar setelah menerima uang  jasa parkir duaribu rupiah dariku. Akupun berlalu meninggalkan halaman depan gedung pengadilan kembali pulang ke rumah bersama setumpuk realita dalam “kantong sampah” yang kutemui hari ini.
Salam EMBUN
 Minggu, 28 Juli 2013.

Tidak ada komentar: