Sketsa
“Kantong Sampah” (Seri 3);
ANAK
MASA DEPAN “BUMI MANUSIA”
by EMBUN1
Tanggal 23 jULi 2013, merupakan perayaan Hari Anak
Nasional. Diperingati dalam suarana kental nuansa ketahudan karena bertepatan
dengan waktu ummat Muslim melaksanakan salah satu rukun Islam yaitu Ibadah
Puasa Ramadhan dan melaksanakan pensucian diri melalui pengeluaran Zakat Fitrah
dan meramaikannya dengan berlebaran Idul Fitri.
Masa depan anak adalah hari-hari yang akan dilalui
di hari esok, sebagai pelanjut estafet kehidupan manusia. Maka dengan momentum
saat ini baik karena bertepatan dengan canangan hari peringatan anak dan ada
dalam suasana spiritualitas, mestinya menjadi rana bijak yang sangat baik untuk
merefleksikan kepedulian melalui beragam media implementasi. Yaitu dengan
mengavaluasi kualitas pencapaian seperti apa yang telah diraih sesuai target
tentang program memperlakukan anak-anak.
Data Badan Pusat Statistik 2011,
jumlah penduduk Indonesia pada 2010. Usia muda lebih banyak dibandingkan dengan
usia tua, terlihat jumlah anak kelompok usia 0-9 tahun sebanyak 45,93 juta,
sedangkan anak usia 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta jiwa.
Pidato Presiden SBY (Antara News.com, Selasa 23/7), menyampaikan
4 (empat) hak pokok anak, yaitu ; 1. Perawatan
dan pengasuha
2.
Kesehatan
3.
Pendidikan dan rekreasi
4.
Hak perlindungan dari kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi
Menurut Presiden SBY, bahwa sesuai amanat
konstitusi anak memiliki hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Anak adalah asset keluarga dan bangsa, generasi
penerus yang menjadi potensi bangsa di masa depan, sehingga harus di siapkan
dengan pendidikan baik umum ataupun khusus untuk eksploitasi dan memanfaatkan
potensi diri yang dimiliki. Anak menjadi tanggung jawab orang tua dan Negara.
Pembangunan Nasional terkait erat dengan isu
kemiskinan masyarakat yang tidak dapat kesempatan dan tidak mampu dalam memenuhi
kebutuhan anak. Baik anak yang hidup dalam lingkungan keluarga maupun anak yang
menjalani kehidupan sendiri atau terlantar.
Upaya perlindungan terhadap anak menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan dengan lahirnya Konvensi
Hak-Hak Anak (KHA) yang diadopsi oleh PBB pada tahun 1989. Indonesia turut
menandatangani dan meratifikasi KHA tersebut melalui Keppres No. 36 tahun 1990.
Dengan demikian, Indonesia terikat secara yuridis
(dan politis) untuk mengimplementasikan KHA, ada kemajuannya dengan terbentunya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Akan tetapi upaya-upaya KPAI
maupun pemerintah belum maksimal untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak belum memadai,
masih saja kita saksikan kejahatan dan eksploitasi ekonomi maupun seksual
terhadap anak sering terjadi.
Anak masih kadang dieksploitasi dengan paksa oleh orang
tua untuk segera secara instan jadi pintar, untuk itu dihabiskan waktu
bermainnya untuk belajar, mengikuti kursus-kursus, pelatihan dan bentuk
eksploitasi lainnya seperti didunia
entertain yang semata memenuhi keinginan dan ambisi orang tuanya. Begitupun
penciptaan suasana lingkungan dimasyarakat yang menghilangkan masa-masa bermain
dan kebebasan di masa kecil anak. Sekarang ini bila masuk kelas satu Sekolah
Dasar sudahharus bisa baca, tulis, menghitung secara matematika, sudah bisa
berbahasa inggris.
Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO
2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan
rendah. “Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education
Development Index”.
Sementara, laporan Departeman
Pendidikan dan Kebudayaan, setiap menit ada empat anak yang putus sekolah.
Bahkan pada tahun 2010 usia sekolah yakni 7-15 tahun yang terancam putus
sekolah sebanyak 1,3 juta. Bila demikian
maka kalau dihitung per waktu, 1 menit. Berarti dalam setahun adalah ; 1 menit
= 4 anak putus sekolah x 60menit/1 jam x 24 jam/1 hari x 365 hari/1tahun = 2.102.400
anak putus sekolah setiap tahun.
Berbagai sebab menjadi alasan
anak putus sekolah. Akan tetapi lebih banyak pada kemampuan ekonomi masyarakat
berbanding lurus dengan ke’tidak” tersediaan peluang yang luas
dan terbuka serta berbiaya murah atau terjangkau khususnya masyarakat miskin untuk
masyarakat dapat bebas memilih lembaga pendidikan apapun sesuai minat dan
kemampuan anak oleh pemerintah kita.
Anak memiliki hak mendapatkan
ruang untuk bermain dan menata memori diri masa kecil dalam suasana dan
kesempatan yang indah serta menggembirakan. Untuk itulah ketersediaan ruang dan
tempat bermain yang terbuka, luas, bebas, bersinyaman dan aman tanpa ongkos
adalah bagian lain penataan ruang yang mestinya menjadi tanggung jawab
pemerintah melaksanakan “perintah” konstitusi. Belum lagi
jaminan perlindungan terhadap kesehatan anak baik makanan bergizi dan bebas
racun kimiawi, termasuk udara bersih dan sehat, agar pertumbuhannya normal dan
bebas dampak negatif bakteri yang dapat merusak secara jangka panjang.
Hak konstitusi anak oleh negara, mungkinkah
hanya sebatas pidato dan catatan yang sekadar upacara serimonial basa-basi
rutin menghabiskan biaya yang telah teranggarkan dalam Anggaran Belanja
Daerah/Negara setiap tahun, sekaligus menghabiskan
berlembar-lembar kertas dari bahan baku hutan Indonesia sekadar dokumentasi di
lemari pustaka.
Selamat Hari Anak Nasional 23 Juli 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar