Sketsa “Kantong Sampah” ;
PENAWAR JASA TILANG DI BAWAH POHON CANGKOKAN
by EMBUN1
Hari
Jumat 26 Juli 2013 jam menunjukan pukul sebelas siang, itu berarti setengah jam
lagi sudah memasuki waktu shalat jumat untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Bekendara
motor sedikit ngebut menuju kantor Pengadilan Negeri yang terletak di
timur Jakarta untuk mengikuti sidang
pengadilan karena perkara pelanggaran lalulintas. Pelanggaran bukan olehku
tetapi anakku. Diakhir bulan juni lalu dia memakai motor untuk urusan mendaftar
ke Perguruan Tinggi, tapi karena tidak memiliki SIM sehingga di tilang saat ada
razia lalulintas oleh Kepolisian di daerah Cililitan Jakarta Timur. STNK motor
ditahan dan Surat Tilang diberikan oleh polisi. Pada surat tilang yang berwarna
merah, tertulis hari ini jum’at tanggal 26 Juli 2013 sidang perkara pelanggaran
lalulintas di Pengadilan Negeri.
Aku
telah mendekati gedung pengadilan yang kelihatannya mungkin baru selesai
dibangun. Dua tiga ratusan meter dari gedung itu saya dihentikan oleh beberapa
orang yang kelihatannya sudah sangat mahir membaca maksud orang yang
berlalu-lalang di daerah itu.
“
Pa’..pa’….” aku menengok kearah tiga orang yang memanggil, menepi lalu berhenti.
“
ya…ada apa ” tanya saya
“
Bapak mau urus surat tilang ke pengadilan ?” kata anak muda yang badannya
tinggi krempeng, berambut sedikit gondrong berkaos lusuh bercelana jeans butut.
“Maksudnya
bagaimana” aku balik tanya
“
Surat Tilang mana pa’… coba saya lihat, kita bawa dulu bayarnya nanti saja” lanjut
si gondrong.
“
Ok, nanti saja ya….. mau jum’atan dulu” kusanggah sambil melaju meninggalkan
mereka mencari masjid.
Ba’dah
jum’at aku kembali menuju gedung pengadilan. Di sepanjang tepi jalan sekitar depan
gedung pengadilan berderet puluhan orang berdiri,kadang berlari menuju
pengendara motor atau mobil yang berhenti atau agak berteriak kepada yang
lewat. Begitupun kehadiranku mengundang mereka mendekat dan menyambutku sambil “ menawarkan jasa” sebagai pengurus perkara pelanggaran lalulintas.
Aku ditanya apa pelanggarannya serta menjelaskan kemudahan untuk pengurusan
perkara tilang tersebut.
“
Ke sini pa’ parkir motornya di sini saja” kata tukang parkir - sepertinya tukang parkir liar, berbaju stelan safari hitam yang juga
merangkap jabatan sebagai pengurus jasa perkara tilang dengan senyum penuh
keramahan. Motor kuparkir di torotoar jalan samping saluran got yang sangat
dalam tapi airnya hitam pekat tergenang dan penuh sampah.
“ Mana surat tilangnya pa’, kita
lihat apa pelanggarannya” kata dua orang yang lain hapir bersamaan. “Maksudnya bagaimana bang
?....” berlaga jadi orang bego, seakan belum paham cara pintas para “calo” penawar jasa ini.
“Bapak tidak perlu ikut sidang….
STNK-nya bisa kami ambil, Bapak tinggal bayar sebesar ketentuan denda pelanggaran
seperti yang tercantum…” jelas anak muda yang dilengan kanannya ada gambar tato
sambil menengok kearah jalan mengamati
sebuah mobil pickup yang hendak berhenti dekat kami berdiri.
“Apakah pembayaran dendanya disetor
masuk kas Negara ?....” tanyaku memastikan
uang denda seratus ribu rupiahku sesuai ketentuan yang tertulis pada surat
tilang, apa benar disetorkan ke kas negara.
“Ia pa’, biaya denda bapak nanti
disetor ke kas Negara, …. tapi nanti saja bayarnya, kalu uda diambil
STNK-nya…..” sambut si tukang parkir
meyakinkan aku.
‘Oo, ini Bapak cuma membayar
denda seratus ribu kalau pelanggaran tidak membawa SIM…. dan untuk saya terserah
nanti akan dikasih berapa…., oke…surat tilang saya bawa, bapak tunggu saja di
sini” ….. jelas teman si”tato” kepadaku. Tanpa menunggu jawaban persetujuan
dariku sipemegang surat tilang telah berlalu
meninggalkan aku bersama si tukang parkir “liar”.
Dengan tergesa-gesa ia menuju pintu gerbang halaman kantor pengadilan dan
menghilang ke dalam gedung yang berlantai
tiga berhalaman luas yang masih sangat baru itu. Entah siapa yang hendak
ditemui di dalam ruang kantor pengadilan, aku terbengong sendiri dalam diam
seraya membathin.
Inikah wajah hukum penyelesaian
perkara negeriku ? Ah, aku lelah bila
berpikir idialis. Bakalan sama dengan perdebatan mana duluan ; ayam apa telur atau telur apa ayam. Kuping yang
dipakai, kedengaran mana disebut duluan itu jawabannya. Baik buruk kondisi
seperti ini seperti di“amini” begitu
saja. Intelektual akademis memahami betul mana baik dan mana buruk, akan tetapi
untuk hanya menjalankan yang baik dan segera meninggalkan yang buruk masih
sebatas hasrat, rencana, program, misi dan istilah sejenisnya. Kenyataan
implementasi hanya sebatas angan dan impian. Dan kita hanya orang bodoh yang pasrah.
Seperti jadi percuma beradu
argumentasi membahas untuk mencari ujung pangkal bagaimana semestinya mengatasi
persoalan calo perkara, aparat hukum yang mengetuk palu memutus sendiri di
balik ruang sidang dan mendapatkan pengadilan yang bersih, jujur dan adil bagi
pencari keadilan yang berperkara. Belum lagi kerugian dari
pendapatan negara bukan pajak yang disunat - via para penawar jasa, seperti kewajiban
pembayaran denda sebagai akibat tersangkut masalah hukum seperti pelanggaran
lalulintas yang mestinya masuk kas negara yang tentu berguna bagi pembiayaan pembangunan.
Siang menjelang sore, matahari
masih memancarkan sinar terik. Masih
banyak para pelanggar peraturan lalu lintas yang datang. Mereka hanya cukup
sampai di depan gedung pengadilan sudah langsung disambut puluhan orang para
penawar jasa, ada sekitar tiga hingga empat puluhan orang jumlahnya, yang mahir
bercakap dan lincah bergerak segera menghampiri siapapun yang datang lalu
menawarkan jasanya.
Teman si “tato” yang membawa
surat tilangku belum juga terlihat kembali keluar dari dalam gedung pengadilan.
Suasana puasa sedikit melemaskan
stamina setelah hampir dua jam tadi di atas berkendara, melaju dari tempat
tinggal tinggal menuju kantor pengadilan. Aku beranjak menuju ke bawah
pepohonan beringin yang rindang di pinggiran jalan itu. Mendapatkan ruang duduk bersandar ke
tiang halte bis.
Pepohonan di sepanjang jalan
depan gedung pengadilan yang berdekatan dengan kantor Pemda di timur Jakarta ini
memang hijau, lebat dan rindang, akan tetapi terbesit kekhawatiranku mungkin
bisa saja gampang roboh karena ini pohon penghijauan yang tidak berakar
tunggang. Biasanya akar tunggang tidak ada karena berasal dari bibit
cangkokan Berbeda sebagaimana pepohonan
yang tumbuh alami, pasti miliki akar tunggang
Angin sejuk meniup sayu melemaskan
otot mataku. Akupun tertidur sambil duduk, mungkin bisa bermimpi disiang bolong.
“ Pa’ bangun, …… bapak ..” Aku
kaget dibangunkan si “ tato’ yang sedang berdiri bersama si “penawar jasa” perkara tilang di
hadapanku.
Sang penawar jasa segera
memperlihatkan dan menyebut nama sebagaimana tercantum pada STNK motor, aku
membenarkan nama yang terbaca.
“Ini STNK-nya…, dendanya mana pa’
? mau saya sampaikan ke dalam”…..
(maksudnya mungkin ke dalam kantor pengadilan) sambil menyodorkan STNK padaku.
Ketika sudah tersadar benar dari
serangan kantuk dan tertidur pulas tadi, aku mencari-cari si penawar jasa yang
ternyata telah lenyap dari hadapanku. Pergi bersama seratus ribu rupiah uang
denda yang mestinya masuk ke kas Negara, tanpa menjelaskan dan atau menyerahkan
bukti pembayaran denda seperti permintaanku sebelumnya yang telah diiakan. Demikian
juga seperti apa proses sidang perkara tilang dan keputusan hakim serta berkas
bukti putusan pengadilan-pun, tidak kudapatkan.
Hari menjelang sore, sebentar
lagi masuk waktu buka puasa. Sudah lebih dari dua jam aku duduk menunggu
ditempat berpayung atap halte bis bernaung pohon beringin. Motor kedorong turun
dari trotoar dibantu si tukang parkir liar setelah menerima uang jasa parkir duaribu rupiah dariku. Akupun
berlalu meninggalkan halaman depan gedung pengadilan kembali pulang ke rumah
bersama setumpuk realita dalam “kantong
sampah” yang kutemui hari ini.
Salam EMBUN
Minggu, 28
Juli 2013.