Kamis, 19 Februari 2015

BANJIR JAKARTA ; Bukan Ulah Kambing Hitam


          
          Jakarta dalam sejarahnya, sudah sejak jaman penjajahan Belanda diceritakan sudah pernah ada bencana banjir. Sejak itu hingga di jaman Indonersia merdeka dan Jakarta makin menjadi kota modern, tetapi masih saja diserbu bencana banjir, dengan ko9ndisi yang makin parah dan rumit.

Mau dibilang bahwa untuk mengatasinya adalah masalah yang gampang, itu bila kita merujuk pada materi kampanye para calon Gubernur (Daerah Khusus Ibukota/DKI) Jakarta. Tidak ditemukan alasan riil dan rasional dalam materi kampanye tersebut sabagai ukuran kebenaran visi-misinya.  Bila dikatakan sulit, tetapi telah banyak telaah – penelitian, kajian dan usulan oleh para ahli tentang cara mengatasai banjir Jakarta, yang setiap waktu mengunjungi Jakarta.
Banjir disebabkan oleh tingkat curah hujan yang intensitasnya sangat tinggi atau deras dan berdurasi waktu lama yang dihitung dengan ukuran millimeter per detik. Air hujan yang jatuh ke bumi dan menempati permukaan tanah dan memenuhi ruang. Ketika air hujan tidak menemukan alur untuk mengalir ke mana-mana, maka akan tertampung dan menutupi apapun seluas besarnya debit air.

Sungai, kali. saluran, danau atau situ, bendungan, kolam, tanah. hutan dan pepohonan maupun laut, adalah wadah alami sebagai tempat yang seharusnya berfungsi untuk menampung hujan yang turun dan kemana harus mengalir untuk mengakhiri aktifitas airnya.   Untuk kemudian kembali menguap ke udara atau sebagaian berakhir di tubuh makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan karena dibutuhkan guna proses pertumbuhan. 

Bilamana wadah yang dimaksud tidak lagi tersedia, maka air dari hujan tang turun akan merambah apapun yang bukan peruntukannya. Dikenal dengan banjir, karena mengairi pemukiman manusia dan juga area terbuka yang tersedia. Hal yang kemudian dari waktu ke waktu hingga saat ini menimbulkan masalah. Karena air yang semestinya bagian dari kebutuhan hidup, telah berubah menjadi musuh yang mengancaman secara serius bagi keselamatan, kenyamanan dan keamanan hidup penduduk dan lingkungan sekitarnya.

Kota Jakarta dan sekitarnya, telah lama menjadi bulan-bulanan bencana banjir. Ada yang mengatakan itu musibah – sesuatu keadaan yang terjadi diluar kemampuan manusia, padahal nyata adalah bencana oleh adanya unsur kesengajaan dan yang disadari benar terjadi oleh akibat ulah perbuatan manusia sendiri.

Menyalahkan betapa makin lebat daya curah hujan – dalam hitungan millimeter per detik, adalah akibat besarnya penguapan air laut maupun air tanah yang berkenaan dengan perubahan cuaca sebagai dampak pemanasan global, merupakan hasil negative aktifitas manusia dalam ukuran seanteru muka bumi. Tentu lain lagi dalam menghitung, mencari dan menemukan cara mengatasainya. Jakarta dan sekitarnya bukan bab itu yang harus diurus dan diselesaikan, sebab yang demikian adalah masalah global, namun tetap bagian dari pemahaman secara luas akan dampak yang dialami bagi Jakarta.

Jakarta sebagai ibukota pemerintahan Negara Indonesia, telah jauh berubah seiring waktu karena perkembangan kebutuhannya. Hutan pepohonan berubah menjadi hutan beton. Area terbuka dan tanah tak berpenghuni tertutup bangunan, jalan dan permukaan seb agai area resapan sengaja ditutup. Sungai, kali, selokan, saluran, danau dan kolam air terbuka, berubah makin sempit dan cenderung dilenyapkan secara sadar. Bila hujan tiba, air tidak lagi menemukan alur untuk mengalir, tersendat daya serap permukaan tanah dan akar pepohonan. Sempitnya ruang dan hambatan aliran air oleh ketersediaan alur dan tumpukan atau timbulan maupun sebaran sampah, menghadirkannya tetap berada dipermukaan tanah dan memenuhi serta menempati segala ruang, merendam apapun adanya.

Banjir tidak berarti tidak bisa diatasi. Akan tetapi pola penanganan yang mesti dibuat secara masal terkait tetapi tidak bersifat parsial dan tidak harus menunggu dulu datangnya musim penghujan.

                              

Banjir Kanal Timur,  Jakarta


DKI Jakarta memiliki Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur, selain sungai – sekarang kali karena telah dipersempit Daerah Aliran Sungai(DAS)-nya, Ciliwung dan kali-kali lainnya, bukan semata hanya itu yang menjadi wadah penampung aliran air hujan sebelum mengalir menuju laut, akan tetapi menjadi andalan fasilitas banjir paling utama dan masih bisa mampu menampung sisa aliran air hujan yang tidak terserap permukaan tanah wilayah Jakarta. Sebagaimana banjir besar yang menenggelamkan sebagian besar wilayah kota Jakarta awal bulan Febuari atau dua minggu lalu, yang harusnya tidak terjadi.  Apalagi hanya akibat hujan yang secara lokal Jakarta sangat deras dan ternyata tanpa kontribusi kiriman air dari wilayah puncak Bogor dan diketahui pula ketinggian air DAS Ciliwung normal, kecuali permukaan laut karena bertepatan dengan air laut yang sedang pasang. Bogor baru sekali ini bebas dari tuduhan sebagai penyumbang banjir Jakarta, selamat.

Air hujan tergenang di permukaan tanah karena terhambat ketiadaan area resapan dan sempurna ketika tidak dapat mengalir lancar menuju area penampungan seperti sungai, kali dan banjir kanal serta laut saat air laut surut. Ketidak sempurnaan aliran air dapat ditelusur pada system drainase yang tidak tersedia ataupun sempit dan kenyataan Jakarta tidak memiliki saluran air berupa terowongan raksasa yang tersedia di tengah kota dan pemukiman sebagaimana kota-kota besar lain di negara maju yang berguna untuk mengalirkan air, baik air pembuangan sehari-hari maupun air banjir oleh  hujan.

Mengandalkan fungsi wadah teknis yang tersedia selalu akan ada keterbatasan daya tampungnya, karena maksimal perkiraan kapasitas kian hari kian tidak mampu, disebabkan curah hujan akan makin tinggi dari waktu ke waktu akibat perubahan luarbiasa cuaca bumi, sehingga menjadi tidak berarti untuk membantu mengatasi  apalagi  mengurangi besarnya peningkatan kubikasi air hujan.  

Meluaskan ruang terbuka dan pepohonan sebagai area resapan, tata ulang saluran air, memaksimalkan wadah penampungan dan penyaluran air seperti banjir kanal, sungai, kali dan saluran dengan selalu bebas dari sampah, menghentikaan sedotan air tanah yang telah berjasa menurunkan permukaan tanah Jakarta dari permukaan laut, dan serius menyelesaikan penyebab banjir kiriman dari wilayah terkait DAS yang menuju Jakarta harus terkoordinasi penanganannya secara tulus agar rampung sempurna.

Jakarta membutuhkan kesadaran semua pihak untuk sungguh-sungguh menyelesaikan masalah banjir. bukan memproyekkan banjir secara rutin, apalagi musibah yang sering dijadikan tumpangan gelap membantu sambil promosi lebel kepentingan politik dan bisnis.

Banjir selamanya adalah musibah oleh keberadaan aktifitas manusia, jangan pernah disalahkan kepada pihak lain bahwa bencana banjir adalah akibat ulah dan perbuatan sengaja dari sang kambing yang berwarna hitam. Padahal kambing hitam sejatinya lebih enak untuk dibuat sate, dilahap sambil menatap senang air hujan yang lancar mengalir indah menuju tempat semestinya tanpa harus menaruh curiga apalagi kambing hitam yang disalahkan sebagai penyebab banjir Jakarta.


Depok, 19 Februari 2015

Oleh : M. Thaha Pattiiha
Direktur Eksekutif (LSM)Komunitas Embun