Jakarta dalam sejarahnya, sudah sejak jaman penjajahan Belanda diceritakan sudah pernah ada bencana banjir. Sejak itu hingga di jaman Indonersia merdeka dan Jakarta makin menjadi kota modern, tetapi masih saja diserbu bencana banjir, dengan ko9ndisi yang makin parah dan rumit.
Mau
dibilang bahwa untuk mengatasinya adalah masalah yang gampang, itu bila kita
merujuk pada materi kampanye para calon Gubernur (Daerah Khusus Ibukota/DKI)
Jakarta. Tidak ditemukan alasan riil dan rasional dalam materi kampanye
tersebut sabagai ukuran kebenaran visi-misinya.
Bila dikatakan sulit, tetapi telah banyak telaah – penelitian, kajian
dan usulan oleh para ahli tentang cara mengatasai banjir Jakarta, yang setiap
waktu mengunjungi Jakarta.
Banjir
disebabkan oleh tingkat curah hujan yang intensitasnya sangat tinggi atau deras
dan berdurasi waktu lama yang dihitung dengan ukuran millimeter per detik. Air
hujan yang jatuh ke bumi dan menempati permukaan tanah dan memenuhi ruang.
Ketika air hujan tidak menemukan alur untuk mengalir ke mana-mana, maka akan
tertampung dan menutupi apapun seluas besarnya debit air.
Sungai,
kali. saluran, danau atau situ, bendungan, kolam, tanah. hutan dan pepohonan
maupun laut, adalah wadah alami sebagai tempat yang seharusnya berfungsi untuk
menampung hujan yang turun dan kemana harus mengalir untuk mengakhiri aktifitas
airnya. Untuk kemudian kembali menguap
ke udara atau sebagaian berakhir di tubuh makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan
karena dibutuhkan guna proses pertumbuhan.
Bilamana
wadah yang dimaksud tidak lagi tersedia, maka air dari hujan tang turun akan
merambah apapun yang bukan peruntukannya. Dikenal dengan banjir, karena
mengairi pemukiman manusia dan juga area terbuka yang tersedia. Hal yang
kemudian dari waktu ke waktu hingga saat ini menimbulkan masalah. Karena air
yang semestinya bagian dari kebutuhan hidup, telah berubah menjadi musuh yang mengancaman
secara serius bagi keselamatan, kenyamanan dan keamanan hidup penduduk dan
lingkungan sekitarnya.
Kota
Jakarta dan sekitarnya, telah lama menjadi bulan-bulanan bencana banjir. Ada
yang mengatakan itu musibah – sesuatu keadaan yang terjadi diluar kemampuan
manusia, padahal nyata adalah bencana oleh adanya unsur kesengajaan dan yang
disadari benar terjadi oleh akibat ulah perbuatan manusia sendiri.
Menyalahkan
betapa makin lebat daya curah hujan – dalam hitungan millimeter per detik,
adalah akibat besarnya penguapan air laut maupun air tanah yang berkenaan
dengan perubahan cuaca sebagai dampak pemanasan global, merupakan hasil
negative aktifitas manusia dalam ukuran seanteru muka bumi. Tentu lain lagi
dalam menghitung, mencari dan menemukan cara mengatasainya. Jakarta dan
sekitarnya bukan bab itu yang harus diurus dan diselesaikan, sebab yang
demikian adalah masalah global, namun tetap bagian dari pemahaman secara luas
akan dampak yang dialami bagi Jakarta.
Jakarta
sebagai ibukota pemerintahan Negara Indonesia, telah jauh berubah seiring waktu
karena perkembangan kebutuhannya. Hutan pepohonan berubah menjadi hutan beton.
Area terbuka dan tanah tak berpenghuni tertutup bangunan, jalan dan permukaan
seb agai area resapan sengaja ditutup. Sungai, kali, selokan, saluran, danau
dan kolam air terbuka, berubah makin sempit dan cenderung dilenyapkan secara
sadar. Bila hujan tiba, air tidak lagi menemukan alur untuk mengalir, tersendat
daya serap permukaan tanah dan akar pepohonan. Sempitnya ruang dan hambatan
aliran air oleh ketersediaan alur dan tumpukan atau timbulan maupun sebaran
sampah, menghadirkannya tetap berada dipermukaan tanah dan memenuhi serta
menempati segala ruang, merendam apapun adanya.
Banjir
tidak berarti tidak bisa diatasi. Akan tetapi pola penanganan yang mesti dibuat
secara masal terkait tetapi tidak bersifat parsial dan tidak harus menunggu
dulu datangnya musim penghujan.
Banjir Kanal Timur, Jakarta
DKI
Jakarta memiliki Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur, selain sungai – sekarang
kali karena telah dipersempit Daerah Aliran Sungai(DAS)-nya, Ciliwung dan
kali-kali lainnya, bukan semata hanya itu yang menjadi wadah penampung aliran
air hujan sebelum mengalir menuju laut, akan tetapi menjadi andalan fasilitas
banjir paling utama dan masih bisa mampu menampung sisa aliran air hujan yang
tidak terserap permukaan tanah wilayah Jakarta. Sebagaimana banjir besar yang
menenggelamkan sebagian besar wilayah kota Jakarta awal bulan Febuari atau dua
minggu lalu, yang harusnya tidak terjadi.
Apalagi hanya akibat hujan yang secara lokal Jakarta sangat deras dan
ternyata tanpa kontribusi kiriman air dari wilayah puncak Bogor dan diketahui pula
ketinggian air DAS Ciliwung normal, kecuali permukaan laut karena bertepatan
dengan air laut yang sedang pasang. Bogor baru sekali ini bebas dari tuduhan
sebagai penyumbang banjir Jakarta, selamat.
Air
hujan tergenang di permukaan tanah karena terhambat ketiadaan area resapan dan sempurna
ketika tidak dapat mengalir lancar menuju area penampungan seperti sungai, kali
dan banjir kanal serta laut saat air laut surut. Ketidak sempurnaan aliran air
dapat ditelusur pada system drainase yang tidak tersedia ataupun sempit dan
kenyataan Jakarta tidak memiliki saluran air berupa terowongan raksasa yang
tersedia di tengah kota dan pemukiman sebagaimana kota-kota besar lain di
negara maju yang berguna untuk mengalirkan air, baik air pembuangan sehari-hari
maupun air banjir oleh hujan.
Mengandalkan
fungsi wadah teknis yang tersedia selalu akan ada keterbatasan daya tampungnya,
karena maksimal perkiraan kapasitas kian hari kian tidak mampu, disebabkan
curah hujan akan makin tinggi dari waktu ke waktu akibat perubahan luarbiasa cuaca
bumi, sehingga menjadi tidak berarti untuk membantu mengatasi apalagi
mengurangi besarnya peningkatan kubikasi air hujan.
Meluaskan
ruang terbuka dan pepohonan sebagai area resapan, tata ulang saluran air,
memaksimalkan wadah penampungan dan penyaluran air seperti banjir kanal,
sungai, kali dan saluran dengan selalu bebas dari sampah, menghentikaan sedotan
air tanah yang telah berjasa menurunkan permukaan tanah Jakarta dari permukaan
laut, dan serius menyelesaikan penyebab banjir kiriman dari wilayah terkait DAS
yang menuju Jakarta harus terkoordinasi penanganannya secara tulus agar rampung
sempurna.
Jakarta
membutuhkan kesadaran semua pihak untuk sungguh-sungguh menyelesaikan masalah
banjir. bukan memproyekkan banjir secara rutin, apalagi musibah yang sering
dijadikan tumpangan gelap membantu sambil promosi lebel kepentingan politik dan
bisnis.
Banjir
selamanya adalah musibah oleh keberadaan aktifitas manusia, jangan pernah
disalahkan kepada pihak lain bahwa bencana banjir adalah akibat ulah dan perbuatan
sengaja dari sang kambing yang berwarna hitam. Padahal kambing hitam sejatinya
lebih enak untuk dibuat sate, dilahap sambil menatap senang air hujan yang lancar
mengalir indah menuju tempat semestinya tanpa harus menaruh curiga apalagi kambing
hitam yang disalahkan sebagai penyebab banjir Jakarta.
Depok, 19 Februari 2015
Oleh : M.
Thaha Pattiiha
Direktur Eksekutif (LSM)Komunitas Embun